JAKARTA, KONTRASNEW.com – Penasehat harus menjaga jarak dari orang-orang yang berpotensi berkonflik yang pada ujungnya memerlukan nasehat bijaknya untuk mengakhiri konflik.
Penasehat punya maqom layaknya seorang resi pandito. Nasehatnya diterima ya syukur alhamdulillah, jika nasehatnya ndak diterima ya ndak boleh marah apalagi ngamuk.
Penasehat itu bukan pemeriksa tentunya, dan karenanya bukan pemutus yang mengadili yang bersifat menvonis benar dan bersalah.
Ndak pada tempatnya penasehat itu membuat vonis bersalah, apalagi jika vonis bersalah itu karena nasehatnya tidak dipakai, dan lebih tidak patut jika vonis bersalah itu tidak sesuai kepentingannya.
Tidak pada tempatnya penasehat itu juga menvonis benar seseorang atau sekelompok orang hanya karena sesuai keinginan dan kepentingannya.
Apalagi jika vonis benar dan salah itu berpotensi disalahpahami publik sebagai bentuk nafsu berkuasa yang membara. Harus dihindari itu. Bisa bubrah dan memperkeruh keadaan kalau seperti itu, laksana menyiram bensin kedalam kobaran api.
Itulah petuah-petuah yang disampaikan seseorang tokoh sangat senior dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kelas begawan kepada penulis beberapa waktu lalu, tanpa mau disebut namanya.
Sang Begawan melanjutkan.
Jika merujuk pada kronologis konflik di PWI Pusat saat inu, seharusnya nasehat paling urgent dan paling utama ditujukan kepada Dewan Kehormatan yang membuat rilis terbuka tetang suatu materi pemeriksaan atas kasus yang tengah dipemeriksa.
Kenapa begitu?
Ya… karena mengeluarkan pendapat atau menyampaikan informasi kepada publik oleh pemeriksa dan pemutus (bisa disebut DK) ditengah-tengah sedang berlangsungnya pemeriksaan, apalagi pendapat dan atau informasi itu dibuat dalam bentuk tertulis, adalah merupakan pelanggaran berat bagi seseorang pemeriksa dan pemutus.
Jangankan terhadap materi yang proses pemeriksaan sedang berlangsung, bahkan seorang pemeriksa dan penutus dilarang secara etik untuk mengomemtari putusan yang dibuatnya sendiri.
Apalagi jika tindakan mengeluarkan pendapat dan penyampaian informasi itu terbukti memiliki dampak negatif yang meluas terhadap nama baik organisasi.
Itu kalau penasehatnya mengerti bagaimana etika seorang pemeriksa dan pemutus suatu perkara tentunya.
Kalau ndak mengerti ya harusnya jangan jadi penasehat.
Dan jangan lupa, itulah alasan kenapa penasehat itu, terutama Ketua Penasehat, selalu diisi mantan Ketua Umum, mantan Sekjen, mantan Ketua Dewan Kehormatan, dan mantan Sekretaris Dewan Kehormatan.
Para resi yang pada dirinya sudah sangat mendarah daging pemahaman tentang kebijaksanaan berlandaskan pengetahuan tentang organisasi dan prinsip-prinsip etika serta memiliki jam terbang yang tinggi untuk dapat bertindak dan berturur layaknya seorang resi pandito.
(ed/indra)